[Cerpen] Tabir Part 2 - {Baca: Cerpen Tabir Part 1} Bunyi cabai dan tomat yang kugoreng untuk disambal mengangetkan kami. aku kembali fokus ke wajan dan dia meletakkan pisang di sudut dapur. Santri putra itu kembali mengucapkan salam, “Assalamu’alaikum.”
Kutarik ekor mataku sedikit, sangat sedikit.
“Wa’alaikumsalam.” Suara Bu Nyai terdengar lembut. Aku menoleh ke arahnya. Bu Nyai memberi isyarat agar aku melanjutkan memasak saja.
“Bu Nyai, ini ada pisang dari kampung. Kemarin saya habis pulang. Tadi sudah sowan ke Abah.” Jelas santri pria itu.
“Oh iya terimakasih, Riz. Keluarga di kampung sehat?”
“Alhamdulillah sehat. Kalau begitu, saya pamit dulu, Bu Nyai. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam,” jawab Bu Nyai. Aku juga menjawab salamnya lirih bercampur dengan sisa-sisa degup itu.
###
Hari-hari menjadi kacau, hafalan, sekolah, mengaji, belajar, semuanya terganggu. Suara santri pria itu, matanya, dan namanya, Riz, seringkali muncul dalam pikiranku. Sekali saja kami dihadapkan dengan temu, aku sudah sekacau ini. Bagaiman untuk kedua, ketiga, keempat kali atau lebih.
“Nurul, ayo berangkat kegiatan. Kok malah masih pakai mukena begitu, melamun.” Teguran Safitri menyadarkanku. Aku hanya tersenyum kemudian melepas mukena, bersiap berangkat.
“Malam jum’at ini acaranya apa, Fit?” tanyaku sambil merapihkan jilbab.
“Maulid Barzanji.”
Aula utama pondok sudah dipenuhi santri putra dan putri yang mulai melantukan puji-pujian. Aku dan Safitri duduk di belakang, hanya itu saja ruang yang masih tersisa, kemudian ikut hanyut dalam lantunan puji-pujian yang dilanjutkan pembacaan maulid barzanji. Aku, lebih tepatnya hanyut dalam suara santri putra yang melantunkannya melalui microfon. Riz, itu adalah suaranya. Mataku menerawang ke balik tabir hijau. Tapi tidak kudapati apa-apa selain imajinasiku tentang bayangannya.
Seminggu kemudian kami kembali bertemu di sekolahan. Aku dan dia sama-sama hendak membuang sampah di bak sampah besar yang terletak di halaman belakang gedung sekolah, aku terheran-heran kenapa dia membuang sampah di tempat itu yang dikhususkan untuk putri. Aku segera pergi setelah selesai membuang dua tong sampah. Tiba-tiba saja Ustadzah Siti datang, langkahku terhenti.
Ustadzah Siti menatapku kemudian beralih ke Riz, “Astaghfirullah, Riza. Sedang apa kamu di sini Ada Nurul juga?” tatapannya berubah menyelidik.
Aku hendak membuka mulut, menjelaskan sebelum Ustadzah salah paham, tapi kalah cepat oleh Reza, “Bak sampah di area putra sudah penuh Ustadzah, sedangkan sampah-sampah di tong sudah menumpuk juga. Jadi dari pada dibiarakan dan menyebabkan bau busuk, lebih baik saya buang di sini.”
Aku menunduk, Ustadzah Siti menatap kami berdua secara bergantian, “Ya sudah, kalian kembali ke kelas. Nurul dulu, baru Riza. Urusan bak sampah nanti Ustadzah laporakan ke bidang kebersihan.”
Aku melangkah pergi, di susul Riza di belakangku. Kami berpisah di persimpangan koridor, saling berhenti sejenak, menoleh.
“Ekhem,” Ustzadzah Siti berdehem sambil melipat lengannya. Aku dan Riza segera kabur dari hadapannya, menuju kelas masing-masing. Sepanjang jalan aku tersenyum-senyum, entah bagaimana dengan Riza.
###
Tampaknya Riza tertarik kepadaku, sering kudapati surat di laci meja darinya. Isinya mulai dari mengajak berkenalan sampai saling bertukar cerita sehari-hari. Kukumpulkan dengan rapih surat-surat darinya di sebuah kotak bekas kado, kusimpan dengan hati-hati di lemari buku. Keadaan itu berlangsung cukup lama, enam bulan. Dan dari surat-surat itu aku tahu bahwa dia juga sedang menghafal Al-Qur’an, calon hafidz, begitu aku sering memanggilnya dalam surat.
Sepulang sekolah, aku dipanggil oleh Ustadzah Siti untuk datang ke kantor pengurus putri. Sudah hampir satu tahun Si Mbok dan Bapak tidak berkunjung, mungkin aku dipanggil untuk urusan itu.
“Duduk, Nur.”
Aku duduk dengan tenang di hadapan Ustadzah Siti, hanya ada kami berdua di ruangan itu.
“Kamu tahu kenapa kamu dipanggil ke kantor?”
“Emh, mungkin ada telfon dari Si Mbok dan Bapak di kampung, Ustadzah,”
“Bukan, ada surat dari Riza, “Ustadzah menyodorkan setumpukan kertas. Aku menelan ludah, jantungku mendadak berdegup kencang, menatap kertas-kertas itu dan berharap dia salah ambil. Tapi, sudah tidak ada lagi harapan itu. aku ditakzir, piket kamar mandi selama satu minggu dan memakai jilbab warna warni, merah, ungu, kuning.
Seantera pondok pesatren dan sekolah tahu bahwa itu ada jilbab penanda si pemakai adalah santri yang sedang ditakzir. Setiap hari selama seminggu aku memakainya, ke sekolah, mengaji, piket, tidak sekalipun aku boleh melepasnya kecauali saat mandi, wudlu dan tidur. Sungguh memalukan. Riza juga ditakzir, kepalanya botak. Ah, dia pasti juga sangat malu. Karena kecerobohanku dalam menyimpan surat darinya, dia jadi ikut terkena imbas.
Masa-masa takziran berakhir, aku kembali dipanggil ke kantor, menghadap Ustadzah Siti untuk kemudian di sowankan ke ndalem, kepada Abah Kyai dan Bu Nyai.
“Nur, takziranmu sudah selesai. Jangan diulangi lagi hal memalukan itu. kamu calon hafidzoh, Nur. Jaga hafalanmu jangan sampai rusak oleh hal-hal semacam itu. Enam bulan terakhir hafalanmu kacau, Riza juga, ternyata hal itu penyebabnya. Kamu sudah kelas tiga SMA, sebentar lagi ujian. Jangan kecewakan Si Mbok dan Bapak di kampung, jangan kecewakan kami yang sudah berusaha menjaga amanat dari orang tuamu untuk menjaga dan mendidikmu, Nur. Ingat tabir antara kamu dan Riza. Tabir itu jelas tidak boleh kalian lewat selain dengan jalan yang sesuai dengan syariat agama.”
Malamnya aku terisak sendirian di saat teman yang lain tertidur pulas. Aku menyesali perbuatanku yang memalukan dan mengecewakan itu. wajah Si Mbok dan Bapak terbayang dalam tangisku, aku telah menggores amanah dan harapan mereka. Astagfirullah.
###
Aku berusaha kembali menata keistiqomahan yang sempat goyah. Hari berganti bulan, ujian nasional dan ujian madrasah sudah di depan mata. Dengan mantap dan yakin, aku menghadapinya. Aku lulus ujian nasional dan madrasah dengan nilai yang baik, meskipun bukan yang terbaik. Si Mbok dan Bapak datang menghadiri acara pelepasan. Sungguh aku terharu saat mencium tangan mereka yang semakin keriput. Ya Rabb ijinkan aku membahagiakan mereka, membangun rumah dunia akhiratnya.
“Assalamu’alaikum,” sapa Ustadzah Siti.
“Wa’alaikumsalam, “jawab aku, Si Mbok da Bapak hampir bersamaan. Ustadzah Siti menyalami orang tuaku, kemudian aku menyalaminya.
“Nur, ada beasiswa S1 untuk hafidz dan hafidzoh,” Ustadzah Siti menyodorkan selebaran. Aku menerimanya, membaca sekilas.
“Dicba dulu, Nur. Siapa tahu rezekimu.”
Aku menatap Si Mbok dan Bapak, mereka tersenyum, mengangguk, memberikan isyarat bahwa mereka merestuiku.
###
Aku dan beberapa santri yang lain ditemani oleh pengurus, mendaftar dan mengikuti seleksi beasiswa di kampus yang menyediakan beasiswa itu. Riza juga turut serta, dia seperti sudah tidak mengenalku. Jangankan tersenyum, menolehpun tidak. Aku menghela nafas, memejamkan mata sejenak dan beristighfar. Ingatlah tabir itu, Nur, gumamku dalam hati.
###
Hari pengumuman tiba, namaku tercatat sebagai salah satu penerima beasiswa, begitu juga dengan Riza. Nama kami tertulis berurutan, tentu saja dia di atasku. Skornya lebih tinggi. Empat tahun, waktu maksimal yang kupunya untuk menyelesaikan S1. Uang beasiswa kugunakan kebaik mungkin, ada yang kukirimkan untuk Si Mbok dan Bapak di kampung.
Di tahun kedua, aku mulai mengajar les privat, bergabung dengn salah satu lembaga BIMBEL, lumayan untuk bertahan hidup di tanah rantau. Lagi-lagi aku dipertemukan dengan Riza, dia juga ikut mengajar di sana. aku harus pandai-pandai menata hati dan niat. Jangan sampai aku melewati tabir itu selain dengan syariat agama.
Aku dan Riza jarang sekali terlibat dalam suatu obrolan, sebatas saling bertegur sapa sebagai rekan kerja. Jika bertemu di kampus, kita seperti dua orang yang tidak saling mengenal. Hatiku terasa perih dengan keadaan itu. aku, masih sangat berharap bahwa aku dan dia bukan sekedar rasa masa SMA, tapi bahwa dialah lelaki yang akan menyingkap tabir itu.
###
Tabir itu masih terjaga hingga di tahun terakhir kuliah S1-ku. Riza dan aku wisuda di hari yang sama. Mulut ini sangat ingin mengucapkan selamat kepadanya, tapi rasanya tidak mungkin. Cukup dari kejauhan aku menatap kebahagiaan Riza dan keluarga besarnya. Di sampingnya berdiri seorang wanita cantik, mungkin dia adalah calon isteri Riza.
Aku pulang ke kampung bersama rombongan keluarga. Aku berniat menghabiskan waktu selama sebulan di rumah, setidaknya bisa mengobati rasa rindu kepada Si Mbok, Bapak, dan kampung halaman sambil menunggu panggilan kerja. Sebulan sebelum wisuda, seorang dosen menawariku pekerjaan. Aku segera mendaftar dan mengikuti tes, pengumumannya sebulan lagi.
Tidak banyak yang berubah dari rumahku di kampung. Masih berdinding anyaman bambu. Sedikit uang tabunganku, kugunakan untuk memperbaiki beberapa sisi rumah yang sudah tidak layak.
Senja yang hangat, bercengkerama dengan Si Mbok dan Bapak sambil menikmati kopi dan singkong rebus. Tiba-tiba sebuah mobil kijang berwarna hijau tua berhenti di depan rumah. Disusul dengan Ustadz Hamzah dan isterinya yang berboncengan sepeda motor. Aku, Si Mbok dan Bapak saling tatap, bertanya-tanya, siapa gerangan yang di dalam mobil.
“Riza,” gumamku ketika Riza turun dari mobil bersama beberapa orang yang pernah kulihat sedang bersamanya di hari wisuda.
###
Diamnya Riza selama empat tahun belakangan adalah demi hari ini, hari dimana dia datang untuk menyingkap tabir itu. dua minggu setelah peminangan, kami menikah dengan sederhana. Allahuakbar, rencanaNya sungguh indah.
Baca juga: Cerpen Bunga Mawar di Persimpangan
Penulis: Anggita Aprilia Sari
Editor: Noval Irmawan
Posting Komentar