[Cerpen] Perihal Pilihan dan Bagian Almira - Perempuan itu terlihat ragu turun dari mobil, seolah sedang menimbang sesuatu. Dilepaskannya sabuk pengaman, menghela nafas, bersiap keluar. Tangannya berhenti membuka pintu mobil, dia mencari sesuatu di tasnya, cermin kecil dan lipstik. Sambil sesekali memanyunkan bibir, dia mengoleskan lipstik berrwarna merah darah, menatap cermin beberapa menit. Setelah memastikan bibirnya terolesi lipstik dengan rata, perempuan itu turun, masih dengan keraguan.
Dia berjalan memasuki kafe sembari membawa sebuah kotak yang dibalut dengan kertas kado berwarna abu-abu. Seorang pegawai kafe yang tampaknya sudah sangat akrab dengannya, mengantar dia ke salah satu sudut kafe, meja nomor 23. Perempuan itu tersenyum, meletakkan kotak di meja, menatap bangku di depannya yang masih kosong. Pegawai kafe lantas meninggalkannya tanpa menawarkan menu, dia sudah tahu bahwa perempuan itu tidak akan langsung memesan. Ya, meskipun hanya setahun sekali perempuan itu datang ke kafe tempatnya duduk sekarang, tapi sudah sepuluh tahun dia melakukannya.
Satu jam berlalu, perempuan itu belum memesan apapun, sejak tadi dia hanya memandangi jam di lengannya, mengelus kotak kado, menatap kursi di depannya yang masih saja kosong. Tidak ada raut wajah kesal, padahal yang ditunggunya belum juga datang. Perempuan itu tetap tersenyum setiap menatap kado dan kursi di depannya.
Semakin malam, pengunjung semakin banyak berdatangan. Di luar, gerimis terdengar seperti melodi penantian yang panjang. Perempuan itu menerawang ke luar jendela, dia melihat sepasang kekasih sedang berlari menuju kafe, si lelaki membentangkan jaketnya di atas kepala si gadis, mereka saling tatap, tertawa kecil. Perempuan itu lantas ikut tersenyum, dulu dia juga pernah seperti mereka, saat pertama datang ke kafe bersama seorang pria yang saat ini sedang dinantikannya.
Sepasang kekasih masuk ke kafe, menempati meja nomer 26. Setelah menatap mereka beberapa detik, perempuan itu kembali melemparkan pandangannya ke luar, menikmati gerimis yang memanjang. Ingatannya membawa dia ke beberapa tahun silam, tentang sebuah pertemuan di tengah gerimis.
Lelaki Peminum Gerimis
“Kenapa berlari?” tanya seorang pria disampingnya yang berusaha mengimbangi langkah perempuan itu.“Gerimis.” Jawabnya singkat sambil menutupi kepalanya dengan kedua telapak tangan.
“Iya aku tahu gerimis. Ada apa dengan gerimis memangnya?”
“Takut sakit. Kalau hujan-hujanan sekalian malah nggak bikin sakit.” ucap perempuan itu, matanya menatap ke halte bus yang masih sepuluh meter lagi.
“Oh ya?”
Perempuan itu mengangguk. Si pria kemudian berlari, memposisikan dirinya di depan perempuan itu, berlari mundur sambil menjulurkan lidah. Perempuan itu memperlambat langkahnya, “Kamu sedang apa?”
“Minum gerimis.”
“Kamu haus? Ini aku ada air mineral di tas.”
Si pria tertawa kecil, “Aku nggak haus. Sengaja meminumnya, biar nggak sakit.”
“Oh ya? Kata siapa?”
“Kataku barusan.”
Perlahan perempuan itu membuka mulut, menjulurkan lidahnya, menangkap gerimis, meminumnya. Mereka berdua kemudian tertawa bersama.
Pilihan Almira
Perempuan itu menghela nafas, tersenyum-senyum mengingat kenangan semasa SMA. gerimis di luar telah menjelma hujan, beberapa pengunjung mengurungkan niatnya untuk beranjak. Diliriknya jam di pergelagan tangannya, “Sebentar lagi.” Gumamnya.Perempuan itu menganggkat tangan, memanggil pegawai kafe. Si pegawai kafe datang dengan membawa kue tart coklat yang berlilin angka 27.
“Terimakasih” ucapnya kepada pegawai kafe.
Dengan terburu-buru, dia menyalakan lilin, memejamkan matanya, “Selamat ulang tahun yang kedua puluh tujuh, Panji.” Ucapnya lirih. Kemudian dia merapalkan doa dan harapan untuk pria bernama Panji yang entah saat ini sedang berada di belahan bumi mana. Perempuan itu tidak tahu, perpisahan mereka sudah lama. Tapi rasa untuknya masih ada, pun entah seberapa. Perlahan perempuan itu membuka matanya yang sedikit basah oleh air mata. Seorang pria sudah duduk di depannya, menempati kursi yang sejak tadi kosong.
Perempuan itu tersenyum, “Selamat ulang tahun, sayang.” Ucapnya kemudian menyodorkan kado.
“Terimakasih, sayang. Maaf aku sedikit terlambat. Ada sesuatu yang tadi hampir tertinggal di kantor.”
“Iya nggak apa-apa. Memangnya apa yang hampir tertinggal?”
Pria itu merogoh saku, “Hadiah untuk hari pernikahan kita. happy anniversary, Almira.” Ucapnya sambil membuka kotak perhiasan berisi sebuah kalung emas berinisial A. Pria itu bangkit, memakaikan kalung di leher Almira.
Almira hampir lupa kalau hari itu juga bertepatan dengan hari peringatan pernikahan mereka. Dua tahun yang lalu, dia memutuskan untuk menikah dnegan lelaki yang saat ini sedang memakaikannya kalung. Lelaki yang mempunyai tanggal lahir sama dengan Panji. Almira telah memilih Panji, tapi Rakha adalah bagiannya.
“Bagaimana, apa kamu suka kalungnya?”
Almira tersenyum, memegangi kalung, “Suka, suka banget. Maaf ya, sayang. Aku nggak bawa hadiah untuk hari pernikahan kita. aku Cuma bawa hadiah ulang tahun buat kamu.”
Rakha tersenyum, berjongkok di dekat Almira, kemudian memegang tangannya, “Nggak apa-apa, sayang.”
“Kamu sedang ingin apa? Jam tangan baru mungkin.”
Rakha menggeleng, kembali tersenyum, masih memegang tangan isterinya, “Aku mau seorang malaikat kecil.” Ucapnya sambil menatap mata Almira penuh harap.
Almira menunduk, kemudian melemparkan pandangan ke luar, hujan mulai reda.
“Tapi kalau kamu masih belum siap, nggak apa-apa. Aku negrti kok.”
Lengang. Mereka saling diam.
“Aku siap.” Ucap Almira kemudian.
Senyum merekah di bibir Arkha, dia bangkit, memeluk Almira, membelai rambutnya.
“Terimakasih, sayaang.”
Malam itu, Almira belajar untuk menerima bagiannya dan merelakan pilihannya. Hujan di luar telah reda. Beberapa pengunjung mulai meninggalkan kafe. Begitu juga dengan Almira dan Rakha. Sebelum pergi, Almira menatap lilin yang masih tertancap di kue tart yang tinggal separuh. Tahun depan, dia memutuskan hanya akan mengucapkan selamat ulang tahun Rakha dan selamat hari pernikahan untuk mereka, tentunya dengan harapan mereka tidak hanya datang berdua, tapi bertiga, berama seorang malaikat kecil.
Baca juga: [Cerpen] Eiffel in Memories
[Penulis: Anggita Aprilia Sari]
Posting Komentar