[Cerpen] Pertunjukkan - Rumahnya terletak di sudut kampung, dekat dengan kebun bambu. Rumah reot itu berukuran enam kali empat meter persegi, beralaskan tanah, di terasnya terdapat sebuah lincak yang beberapa sisinya sudah mulai keropos dimakan rayap, begitu juga dengan dinding rumahnya, lubang angin ada di sana sini, bahkan bisa untuk masuk ayam, kucing, dan ular. Desa setempat pernah memberikan bantuan untuk merenovasi, tapi wa Karsim, pemilik rumah itu menolaknya secara halus dan sopan.
Sehari-harinya wa Karsim bekerja serabutan, lebih sering dimintai bantuan untuk membersihkan halaman rumah, kebun, atau saluran air milik orang. Berbekal pengki bambu, sapu lidi, dan cangkul, dia bekerja dari pagi hingga menjelang dzuhur. Selepas dzuhur biasanya dia tidur, melepas lelah dari tubuh rentanya. Kemudian seusai ashar, menghibur diri dengan bermain calung sambil melantunkan lagu-lagu yang biasa digunakan untuk mengiringi lengger.
Hatinya seolah telah menyatu dengan alat musik itu dan segala kenangan tentangnya. Wa Karsim adalah pemain calung tersohor pada jamannya. Namanya terkenal tidak hanya di kampungnya sendiri, bahkan tetangga kampung pun sangat akrab dengan nama wa Karsim, si penabuh calung terhebat. Dia berhenti menjadi penabuh setelah cintanya kepada seorang penari lengger kandas. Kenyataannya hati wa Karsim muda sangatlah rapuh, baru sekali gagal bercinta, dia memutuskan berhenti menjadi penabuh.
Meskipun begitu, dia masih dan selalu memainkan calung setiap sore. Baginya itu adalah pengobat rindu kepada Nisem, lengger dengan liukan tubuh tergemulai. Mata lelaki berumur 69 tahun itu menerawang jauh ke depan, sementara tangan dan mulutnya saling berharmoni dalam sebuah tembang caping gunung. Warga sekitar sudah sangat hafal dengan kebiasaan wa Karsim, selama ini tidak ada yang merasa terganggu olehnya.
Suatu sore, wa Karsim dirundung rindu yang teramat menyesakkan dada, kepada siapa lagi kalau bukan Nisem. Dia memainkan calung dengan tempo yang lambat, mirip lagu kesedihan.
“Dengarnya kok jadi pengin nangis,“ ujar salah satu tetangga.
Wa Karsim menyudahi permainan calungnya lebih cepat dari biasanya. Mata lelaki itu memerah, menahan air mata yang sudah hampir meleleh. Dia bangkit, membawa masuk calung kesayangannya. Kemudian berbaring di atas dipan, beralaskan tikar, berbantalkan tangan yang tinggal tulang berbalut kulit keriput.
Dia memejamkan mata, air mata melelah, mengaliri sungai-sungai rindu dan sendu di wajahnya. kemudian tertidur.
“Nisem, Nisem,” Wa Karsim memanggil-manggil nama itu di sela tidurnya. kemudian di pagi hari dia terbangun dengan rindu yang semakin menggebu. Semalam dia bertemu dengan Nisem, sayangnya itu hanya mimpi, bunga tidur. Kalau saja wa Karsim bangun sedikit lebih siang lagi, mungkin dia sempat memeluk Nisem dalam mimpinya.
Tapi, suara ayam jago miliknya membuat wa Karsim terpaksa menyudahi mimpi indahnya. Wa Karsim bangkit, memperbaiki sarungnya yang merosot, kemudian pergi ke sumur, menimba air untuk cuci muka. Tulang rusuknya begitu menonjol ketika dia harus mengeluarkan seluruh tenaganya untuk menimba air, nafasnya terengah-engah. Setelah mencuci muka, dia kembali ke dalam rumah, berganti sarung.
Wa Karsim tidak pernah memakai baju kecuali saat lebaran. Sehari-harinya dia bertelanjang dada, hanya mengenakan sarung saja. Kalau bekerja dia memakai celana kolor pendek.
Belum sempat Wa Karsim mengganti sarung, pintu rumahnya diketuk oleh seseorang. Dia bergegas membuka pintu sedkit.
“Wa Karsim ya?” tanya lelaki di hadapannya.
“Iya.” Jawab wa Karsim bingung sambil tetap menahan pintunya agar tidak terbuka lebar.
“Perkenalkan, nama saya Tugiman, wa. Dari kelompok seni lengger Mekar Setaman. Kebetulan kami sedang berkeliling di kampung ini, sekalian mampir ke rumah maestronya calung.”
Wa Karsim terheran-heran karena pemuda itu tahu namanya. Dia kemudian melongok ke luar, membuka pintu lebar-lebar. Di depan rumahnya berdiri seorang lelaki dan dua lengger yang masih muda-muda. Seulas senyum merekah di bibir wa Karsim. Di jaman serba modern saat ini, sudah sangat jarang dijumpai pertunjukkan lengger semacam itu.
“Wa, suatu kehormatan bagi kami kalau wa Karsim mau bermain calung bersama.”
Wa Karsim menatap wajah pemuda itu, “Tunggu. Biar uwa ganti sarung dulu.”
Wa Karsim segera masuk ke kamar. Bergati menggunakan sarung terbaik miliknya. Sarung hitam dengan sebuah garis putih di tepi bawah, seperti biasa dia bertelanjang dada.
“Ayo main,” serunya dengan sangat bersemangat.
Wa Karsim dan dua pemain calung yang lain kompak menabuh, menghasilkan sebuah harmoni yang indah. Dua lengger muda berparas cantik melenggok-lenggok mengikuti irama musik calung. Wa Karsim terbayang-bayang Nisem. Dulu pujaan hatinya seperti mereka saat masih muda. Wa Karsim semakin bersemangat menabuh. Angin sepoi-sepoi menambah sejuk suasana. Daun pohon bambu di kebun samping rumahnya bergesekan terkena angin. Entah sudah berapa lagu dimainkan, tapi wa Karsim belum juga merasa lelah. Begitu juga dengan penabuh dan si lengger.
Angin bertiup semakin kencang, selendang milik si lengger berkali-kali tersibak. Wa Karsim dan lainnya bertambah semangat, tidak kalah dengan angin di hari itu. Tidak terasa, hari sudah sore. Wa Karsim masih saja memainkan calungnya. Si Lengger dan dua pemain calung sudah kelelahan. Mereka duduk menghadap wa Karsim, menyaksikan pertunjukan calung yang luar biasa indah. Tak lama kemudian mereka pamit undur diri, meninggalkan wa Karsim yang masih asyik menabuh calung.
Seusai maghrib, tubuh wa Karsim ditemukan terbujur kaku di lincak. Banyak warga yang menduga kalau lelaki tua itu meninggal terserang angin duduk, seharian dia bermain calung sendirian sambil sesekali tersenyum-senyum.
Baca juga: [Cerpen] Tiada Lagi Rumah yang Rindu
Penulis: Anggita Aprilia Sari
Editor: Noval Irmawan
Posting Komentar