Cerpen The Laundry - Kepalaku terasa berat, sepertinya otakku berubah menjadi batu setelah semalam lembur mengerjakan tugas. Bungkus makanan ringan dan softdrink berserakan di lantai, laptop masih memutar daftar lagu sejak semalam, beberapa menit kemudian muncul peringatan baterai lemah di layar. Aku menguap, menengok ke kolong tempat tidur, gelap, membuatku ingin memejamkan mata lagi. Tapi jam weker sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Itu artinya tersisa waktu satu jam untukku bersiap pergi ke kampus sebelum mata kuliah dosen killer itu dimulai.
Dengan malas aku bangkit, membuka jendela. Cahaya matahari pagi yang menembus kaca jendela kamar membuatku harus menyipitkan mata, berkedip-kedip untuk kemudian bisa menatap pemandangan di luar sana dengan jelas. Beruntung kamarku berada di lantai dua, bisa menikmati hijaunya pegunungan yang berjarak sekitar 2 km dari tempatku berdiri saat ini. perlahan kuhirup udara pagi yang sejuk, aroma embun masih tercium meskipun sedikit, maklum saja aku bangun kesiangan, embun-embun itu pasti sudah dicumbui oleh cahaya matahari.
Aku selalu suka menatap gunung di pagi hari, hal itu akan mengingatkanku pada pengalaman mendaki bersama seseorang yang spesial, Beni. Suasana sunrise kala itu di gunung Slamet masih kuingat dengan jelas, juga bagaimana suara Beni sedikit gemetar ketika berucap cinta kepadaku yang terbengong-bengong menatap keindahan dari puncak gunung tertinggi di jawa Tengah itu. Beni sampai harus mengulang tiga kali karena aku gagal fokus.
Astaga, aku sudah menghabiskan hampir setengah jam berdiri menatap gunung dan memutar memori tentangnya. Aku bergegas mandi, lebih tepatnya mandi kilat. Betapa paniknya aku ketika teringat bahwa pakaianku masih di laundry, belum sempat kuambil sejak kemarin. Yang tersisa di lemari hanya pakaian untuk tidur dan bersantai, tidak pantas kan dipakai untuk ke kampus. kulirik jam weker. Lima belas menita lagi jarum jam menunjukan pukul delapan tepat.
Setelah berpakain seadanya, aku tergesa-gesa menuruni tangga, tidak memperdulikan sapaan tetangga kamar, bergegas memacu sepeda motor menuju ke tempat laudry langgananku yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kos.
“Pong, mau ambil laundry.”
“Ya ampun, Cin. Baru aja buka. Eyke mau beres-beres dulu. Tunggu ye?”
“Aduh Pong! Aku nggak bisa nunggu. Buru-buru banget nih.”
“Ih rese deh. Ambil sendiri deh sana. awas yah jangan berantakan.”
Mataku berkeliaran mencari bungkusan baju berlabel namaku, Luky. Bajuku ada di loker paling atas. Setelah berhasil mengambil dan membayarnya, aku segera kembali ke kos. Berganti pakaian, berpacu dengan waktu. Kubuka plastik pembungkus baju, memilih yang akan kupakai. Ada yang ganjil, tidak ada satupun bajuku. Kukelaurakan semuanya secara sembarangan.
“Kok baju cowok?” aku bertanya pada diri sendiri dengan kesal. Aku kembali membaca nama pada label, benar, namanya Luky. Bagus, aku salah ambil. Ini pasti milik Luky berjenis kelamin laki-laki. aku bangkit, meremas-remas rambut sambil mondar-mandir. Sementara jarum jam terus berdetak, membuatku semakin panik.
Waktu tidak memungkinkan untukku mengembalikan baju-baju itu sekarang ke laundry. Lagipula aku sudah terlanjur mengacak-acaknya. Aku masih mondar-mandir sambil menatap baju yang berserakan di atas tempat tidur. Ada satu yang mirip dengan baju perempuan, dan dugaannku benar, baju bermotif bunga-bunga itu memang baju perempuan. Tanpa pikir panjang, aku memakainya.
Gara-gara Lucky
Seusai perkuliahan, aku pergi ke kantin bersama beberapa teman, memesan nasi uduk dan jus jambu. Sambil menunggu pesanan, kami berbincang-bincang. Dari kejauhan, mataku menangkap sesuatu yang tidak asing. Kaos yang dikenakan oleh lelaki berbadan jangkung itu berwarna putih dan bertuliskan huruf B. Persis seperti milik Beni. Aku yakin di dunia ini hanya dia pemilik kaos seperti itu, bagaimana tidak? Aku yang membuatnya bersama dia saat mengunjungi vestifal kaos lukis. Bercak-bercak warna di sekitar huruf merupakan bukti bahwa si pelukisnya masih amatir.
Lelaki itu semakin mendekat, menatapku tajam, kemudian melewati mejaku. Tidak salah lagi, itu adalah kaos milik Beni yang masih kusimpan. Aku menoleh ke tempatnya duduk, ternyata dia juga sedang menatapku. Setelah saling tatap beberapa saat, kami bangkit dari tempat duduk masing-masing, kemudian saling mendekat.
“Lepas baju itu sekarang!” kataku dan lelaki itu secara bersamaan.
Suasana lengang, pengunjung kantin yang mendengarnya menatap kami berdua. Begitu juga dengan teman-temanku. Aku menelan ludah, menatap sekitar. Kemudian lenganku ditarik oleh lelaki itu, keluar kantin.
“Kenapa kamu pakai dress itu?” tanyanya dengan tatapan menyelidik.
“Kamu juga kenapa pakai kaos itu?” aku bertanya balik.
Kami saling diam, “Tunggu, kamu Luky?” tanyaku kemudian.
Kening lelaki itu berkerut, kemudian diacungkan jari telunjuknya ke mukaku, “Kamu cewek yang salah ambil laundry. Gara-gara kamu aku hampir telat ketemu dosen pembimbing skripsi.”
“Kamu cowok yang namanya ikut-ikutan namaku. Gara-gara kamu juga aku hampir telat masuk kuliahnya si dosen killer.”
“Gara-gara aku? Kamu yang salah ambil.”
“Kamu yang namanya ikut-ikutan aku!”
“Ribet ya ngomong sama cewek. Pokoknya lepas dress itu secepatnya, aku nggak terima ada cewek lain selain dia yang pakai dress itu.”
“Aku juga nggak terima, ada cowok selain dia yang pakai kaos itu!”
“Lepas sekarang!” ucap kami bersamaan.
Lanjut membaca: [Cerpen] The Laundry Part 2
Baca juga: [Cerpen] Tiada Lagi Rumah yang Rindu
[Penulis: Anggita Aprilia Sari]
Posting Komentar