Cerpen Eiffel in Memories - Ada yang selalu menyebalkan setiap kali kita harus berucap “sampai jumpa lagi”, kemudian saling melambaikan tangan, menghirup sisa-sisa parfum yang masih melekat di rambut hidung. Kamudian harus menghitung hari yang begitu terasa berat dilalui.
“Kita bisa melalui ini, semua akan baik-baik saja, Vela.”
Tiga tahun kita memang bisa melalui ini, dan benar katanya, semuanya akan baik-baik saja. Tapi, bagaimana untuk dua tahun ke depan? masih seperti itukah? Kali ini kita tidak hanya berbeda kota, tapi berbeda benua, terpisah beribu-ribu mil jauhnya. Aku sangat menghargai dan mencoba mengerti betapa berharganya kesempatan itu baginya, menuntut ilmu di Perancis.
“Vela, nanti sepulang dari sana, aku akan jadi arsitek hebat. Aku akan membuatkan rumah untukmu. Lengkap dengan menara Eiffel buatan tanganku.” Itu adalah satu-satunya janji yang pernah dia ucapkan. Dan, aku percaya, dia akan menepatinya.
Vela Florish
“Vela, ada telfon dari distributor bunga di Bandung,” Cika memberikan gagang telfon kepadaku. Kemudian menggantikanku menata bunga.“Halo,” sapaku.
“Iya halo, ini dengan pemilik Vela Florish?”
“Iya benar.”
“Emh, begini, mohon maaf, bunga mawar putihnya sedang kosong.”
“Tapi bunga lain yang saya pesan ada kan?”
“Ada, nanti sore akan dikirim.”
“Oke. Terimakasih.”
Telfon terputus, aku menghampiri Cika yang sedang menata bunga. Tokoku baru saja dibuka sebulan yang lalu, ya masih terbilang baru. Pengunjungnya juga belum terlalu ramai. Pegawai pun aku belum punya, hanya Cika saja, sahabatku yang sama-sama suka bunga. Dia banyak membantuku. Saat ditanya kenapa tidak membuka florish sendiri, jawabannya adalah, “Papa Mamaku nggak suka. Mereka maunya aku meneruskan bisnis properti mereka.”
Beruntung, kedua orang tuaku terbilang demokratis. Apapun keinginanku, asalkan itu baik, mereka memperbolehkan, termasuk membuka usaha florish.
“Apa kabar Evan, Vel?” tanya Cika di sela kesibukan kami.
“Baik. Tapi udah seminggu nggak ada kabar. Mungkin dia sibuk.”
Enam bulan yang lalu, dia rutin mengabari, kami saling bertukar foto dan video. Dia mengirimkan foto menara Eiffel di malam hari, sangat indah. Evan bilang, dia sering berkunjung ke menara Eiffel dan berharap bisa menikmati keindahannnya bersamaku. Beberapa kali dia juga pernah mengirimkan foto bersama teman kuliahnya dari Indonesia.
Tapi seminggu belakangan ini, sama sekali tidak ada kabar darinya. Telfonku tidak pernah dijawab, begitu juga dengan pesan dan email. Dia tidak muncul di sosial medianya. Padahal biasanya Evan mengunggah foto atau status. Aku mulai resah, takut. Takut jika akhirnya aku dan dia kalah oleh rindu dan jarak yang memisahkan kami, takut jika akhirnya dia bertemu dengan orang lain. Takut jika salah satu dari kami memilih menyerah.
Aku mencoba bersabar dan menjejali otakku dengan pikiran-pikiran yang positif tentang Evan. Seminggu, dua minggu, tiga minggu, sebulan, ah aku tidak bisa menahan untuk tidak menghubunginya terlebih dahulu. Malam itu, aku menelfonnya. Dua kali tidak ada jawaban, dan yang ketiga kalinya, dia menjawab telfon ketika aku hampir saja memutuskannya.
“Halo, Vela sayang. Maaf aku sangat sibuk selama sebulan ini. aku harap kamu nggak marah.”
Aku terdiam, memejamkan mata sambil memegang erat ponsel di tangan, akhirnya aku masih bisa mendengar suaranya lagi, mendengar dia memanggilku sayang.
“Halo. Sayang please, forgive me.”
Aku menghela nafas, “Nggak apa-apa. Aku nggak marah.”
Sejak malam itu, komunikasiku dengan Evan kembali seperti biasanya. Dia banyak bercerita tentang kuliahnya, juga menanyakan perkembangan usaha florishku. Dia bilang, aku harus mengganti namanya menjadi Evela Florish, Evela adalah singkatan dari namaku dan namanya.
Evan pun Datang
Genap dua tahun jarak memisahkan aku dan Evan, dan hari ini Evan akan pulang ke Indonesia. Rinduku kepadanya juga akan genap terlunasi. Aku menjemputnya di bandara, dia pulang bersama sesama teman mahasiswanya, perempuan. Wajahnya tidak asing lagi, aku pernah melihatnya di foto-foto yang Evan kirimkan. Evan memperkenalkanku dengannya, dia bernama Mayta.Sepanjang perjalanan dari bandara ke restoran, aku dan Mayta banyak bertukar cerita. Dia perempuan yang cerdas, cantik, dan ramah. Kehangatan dan keakraban begitu terasa diantara kami bertiga saat terlibat dalam obrolan di restoran. Tampaknya aku akan mendapatkan sahabat baru, Mayta.
“Aku juga suka bunga loh, Vel.”
“Oh ya? Pokoknya kamu wajib main ke florishku. Nanti aku kenalin sama sahabatku, namanya Cika. Dia juga suka bunga.”
“Boleh juga tuh.”
“Oke, ladies. Makanannya udah datang. Waktunya makan.” Evan menyela pembicaraan kami.
Tiba-tiba Mayta muntah setelah memakan beberapa suap makanannya.
“May, are you oke?” tanyaku panik. Evan juga ikut panik.
Mayta hanya mengangguk. Evan kemudian memanggil petugas kebersihan untuk membersihkan lantai.
“May, kamu masuk angin? Atau nggak biasa makan makanan Indonesia?” tanyaku.
Mayta tertawa kecil, “Aku Cuma masuk angin, kok.”
Rumah Impian
Seminggu setelah kepulangan Evan, dia mengajakku pergi ke suatu tempat. Dia menjemputku pukul tujuh malam, kemudian memintaku untuk bersedia matanya di tutup dengan kain berwarna merah.“Sampai.” Evan menuntunku keluar dari mobil. perlahan dia membuka penutup mataku.
“Kejutan!” serunya.
Aku tertegun melihat apa yang ada di depanku. Sebuah rumah bergaya Eropa, lengkap dengan miniatur menara Eiffel di halaman depannya.
“Evan, kamu..”
“Aku tepatin janjiku dua tahun yang lalu, kan?”
Aku memeluk Evan, “Thank you very much”
“You’re welcome”
“Jadi, kapan kita nikah?”
Evan mengendurkan pelukannya, kemudian menatapku, “Itu yang mau aku omongin sama kamu sekarang, Vel.”
Aku mengangguk-angguk sambil tersenyum, “Ngomongin pernikahan di sini?”
“di dalam, sekalian kamu bisa lihat-lihat rumahnya.”
Aku dan Evan masuk. setelah dirasa cukup melihat-lihat seisi rumah, kami duduk berhadapan di ruang tamu.
“Van, gimana kalau pernikahan kita di rumah ini aja. Nggak usah sewa gedung. Terus nanti pelaminannya di dekat minatur menara eiffel. Keren kan?”
“Iya keren, keren.”
“Emh, kamu mau tema pernikahannya apa?”
“Vela,”
“Oh iya, hampir lupa. Kamu kan arsitek, gimana kalau nanti ada miniatur lainnya.. emh, miniatur apa yah? apa aja deh, terserah kamu. gimana? Kamu bisa kan bikinya?"
“Vela, cukup. Aku nggak bisa!”
Aku terkejut dengan ucapan Evan. Seketika aku diam, kemudian menatapnya yang menunduk sambil memegangi keningnya.
“Evan, it’s ok kalau kamu nggak bisa bikin miniatur.” Ucapku lirih.
“Lebih dari nggak bisa bikin miniatur, Vel.”
“Maksud kamu?”
“Aku nggak bisa mewujudkan semua yang kamu bilang tentang pernikahan kita.”
“Why?”
Evan diam, menghela nafas, meremas rambutnya, bibirnya seolah gemetar untuk bicara, “Mayta hamil. Dan, aku adalah ayah dari anak yang ada di rahimnya.”
Ada yang menghantam hatiku dengan sangat keras. Dadaku terasa sesak, lidahku kelu, dan mataku mulai terasa perih menahan butiran bening yang memaksa meleleh.
“Apa salahku, Evan? Kamu tega lakuin semua ini.” tanyaku dengan suara parau.
“Kamu nggak salah, Vel. Aku yang salah. Aku khilaf. Waktu itu aku dan Mayta...”
“Cukup! Apapun penjelasan kamu, nggak akan bisa mengubah keadaan. Faktanya sekarang adalah Mayta hamil dan kamu adalah Ayah dari bayi di rahimnya. Dan aku, harus bisa menerima ini semua, merelakan kamu menikahi Mayta. Itu kan yang kamu mau!?”
“Vela, please, listen me..”
“Enough, Evan. I’ll go. Happy Wedding, and thank you for everything”
Eiffel in Memories
Di sinilah sekarang aku berdiri, Champ de Mars, 5 Avenue Anatole France, 75007 Paris, France, sambil menatap foto Evan yang berlatar menara Eiffel. Itu adalah satu-satunya foto yang masih kusisakan. Aku mendongak, menatap menara setinggi 984 ft yang dihiasi kerlap-kerlip lampu. Indah, tapi bukan dia tujuanku. Setelah menghapus foto Evan dan mengucapkan salam untuk Eiffel, aku pergi, mencari tujuanku, dan untuk berani jatuh cinta lagi.Baca juga: [Cerpen] Perihal Pilihan dan Bagian Almira
[Penulis: Anggita Aprilia Sari]
Bagaimana cerpennya??
BalasHapusPosting Komentar